Senin, 23 Juni 2014


 CERPEN (KURUS)



Saat buka dokumen-dokumen lama di laptop, rupanya ada file cerpen yang pernah saya buat saat dulu masih awal belajar menulis. Saya baca tulisan itu lagi. Awalnya aneh. Tapi saya baca lagi, eh makin jijik. Ceritanya gak jelas, maksa, dan absurd. Tapi biarlah, namanya juga masih belajar. Hehe... Oleh sebab itu, daripada dibuang sayang, saya posting saja di mari. Meski aneh, tapi tidak berkualitas. Haha...

_____________
Bagai jeruk tanpa air, kusut! Ya, begitulah ia di pagi ini. Dengan mata merah, rambut awut-awutan, serta keriput di mana-mana, ia berjalan gontai keluar kamar. Pikirannya melayang pada angka timbangan berat badan yang baru saja ia tindih. Tidak tanggung-tanggung, beratnya 50 kg! Berkurang 20 kg dari tiga bulan yang lalu.

Tubuhnya yang setinggi 182 cm itu jelas tampak layu dengan balutan kulit tipis yang makin hari makin kering itu. Jika diibaratkan artis, mungkin ia sekurus Doyok, berwajah Dimas Beck, dan bercelana Jojon. Maklum saja, Mamanya selalu membelikannya celana yang besar-besar sejak ia di bangku sekolah.

“Ya kan nanti kalau kamu sudah besar, celana itu masih bisa dipakai. Jadi tidak usah beli lagi.” begitu tutur Mamanya ketika ia protes karena celananya banyak yang tidak muat. Dan kini ia sadar, ia harus mengikat ikat pinggannya lebih kencang mulai sekarang. Karena meski sudah tidak lagi belia, diameter tubuhnya tetaplah sama. Kurus!

Langkahnya kini memasuki kamar mandi. Sejurus kemudian tampaklah sosoknya yang tanpa baju di cermin.

Kerempeng? Mana keren!

Ah, selalu saja ada yang menusuk hatinya kala mengingat slogan iklan susu itu.

***
Namanya Budi. Lengkapnya Budidayakan Hewan Langka. Eh, maksudnya Budiman.  Singkatan dari BUru-buru jaDI MANusia. Ayahnya memberi nama demikian lantaran ia lahir dengan berat 1,5 kilogram secara premature. Mungkin itu sebabnya Budi bakat kurus hingga sekarang. Padahal, ibu dan ayahnya termasuk jajaran manusia ‘daging tanpa tulang’ tingkat atas. Kakaknya yang perempuan pun sama, padat berisi. Adiknya yang masih balita juga montok. Bahkan kucing peliharaannya pun malas jalan-jalan lantaran over weight. Hanya Budi yang kurus.

Dulu saat masih kecil, sempat ia berpikir jangan-jangan ia adalah anak haram. Namun segera ia tepiskan pikiran itu. Ia betul-betul tahu siapa ayahnya, Supriadi Harap. Bukan Supriadi Haram. Bukan pula Suharam, Haramto, ataupun Haramsyah.

Budi memang tidak bakat gemuk. Buktinya semua tips menggemukkan badan telah ia lakukan. Mulai dari minum vitamin, istirahat yang cukup, jarang olah raga, hingga makan 5 kali sehari telah ia jalankan. Namun percuma, berat badannya tak kunjung bertambah. Paling maksimal 70 kilogram!

Tak ada teori ilmiah yang dapat menjelaskan fenomena kekurusan Budi, kecuali kesimpulan empirik sederhana bahwa berat badan Budi sangatlah sensitif, terutama terhadap hatinya. Semakin galau hatinya, semakin kurus pula tubuhnya. Pasalnya, ia tak habis pikir kenapa ia kurus. Hal itulah yang membuatnya galau, yang kemudian membuatnya kurus. Dan semakin galau. Dan semakin kurus. Semakin galau. Semakin kurus. Galau lagi. Kurus lagi...

(Eeiit... kalau begini ceritanya, bisa-bisa ceritanya kelar gara-gara Budi mati kekurusan ya!?)

Pasalnya, tiga bulan lalu ia melihat di mading sekolah ada perlombaan menulis puisi cinta tingkat nasional. Batas waktu yang tinggal satu minggu lagi! Itulah yang membuatnya galau, sehingga makan tak enak, tidur tak enak, bahkan untuk buang angin di kelas pun rasanya tak enak.

Dan kini, Budi lebih memilih bertemu Ujang, sahabat karibnya. Untuk mengutarakan cinta? Oh, please, deh! Bukan, tapi untuk dimintai pendapatnya.

“Gue tahu...” ujar Ujang begitu Budi menemuinya di kantin sekolah. Tampak ia sedang sibuk memilin-milin mie goreng dengan garpunya.

Budi kagum. Meski belum sempat bilang apa-apa, tapi  Ujang sudah tahu apa yang dimaksud oleh Budi. Budi merasa inilah bukti persahabatan. Tak perlu banyak kata-kata, cukuplah hati yang bicara. Tapi rasa penasaran akhirnya mendorongnya untuk bertanya.

“Emang tahu apaan, Jang?”

“Mau minta mie goreng gue, kan?”

“O, bukan. Gue mau curhat.” tukas Budi sambil melengos. Ia salah kira.

“Gue tahu...”

Luar biasa. Lagi-lagi Ujang tahu! Tapi...

“Mau curhat kalo gak punya duit buat beli mie goreng, kan?”

“Bukaaan!” Sepertinya Budi mulai putus asa. Menemui Ujang di saat dia bersama mie goreng adalah kesalahan besar.

“Wawu... afhaan whong? (Lalu... apaan dong?)” kata Ujang dengan mulut penuh mie goreng.

Budi menatap sahabat karibnya itu lekat-lekat. Ia ingin memastikan apa benar Ujang sudah bisa diajak bicara. Setelah yakin, akhirnya Budi bersuara.

“Lu tahu kan kalau gue mau ikutan lomba puisi cinta yang ada di mading itu...”

Ujang manggut-manggut.

“Nah, masalahnya, gue gak pernah bikin puisi cinta! Pacaran aja gak pernah. Ah, stres gue!”

Ya, sebetulnya kalau saja Budi cukup puitis, atau minimal bakat jadi tukang gombal, mungkin Budi tak akan mendapat masalah seperti ini. Dalam hati kecilnya, ia menyesal sering bolos saat pelajaran bahasa Indonesia.

Mendengar cerita Budi, muka Ujang mendadak serius. Ia paham apa yang sedang dibicarakan sahabat karibnya itu bukanlah hal main-main.

“Bud, puisi cinta itu bukan hanya tentang pacar. Cinta itu luas. Seluaaas... hati lu. Lu bisa nulis cinta lu kepada orang tua lu, misalnya.” Ujang menyarankan.

Hm, masuk akal. Budi makin kagum saja dengan kepintaran Ujang yang ia rasa lebih unggul satu tahun darinya. Menurut Budi, tak percuma Ujang tinggal kelas tahun lalu.

“Ogah, ah! Apa kata dunia kalau gue nulis puisi buat nyokap and bokap? Bisa dikata cengeng bin manja nanti.” Budi gengsi.

“Kalau begitu, mengapa tak kau tulis tentang cintamu pada Tuhan? Itu cinta yang luar biasa, kawan.” Kata Ujang sok religius.

“Hm, iya sih. Tapi gue takut dibilang munafik. Nulis puisi cinta kepada Tuhan, padahal salat aja gue masih bolong-bolong.” Kata Budi tahu diri.

“Aha, bagaimana kalau cinta kepada hewan peliharaan?”

“Emang lu lupa, ikan gue di rumah mati karena seminggu lupa enggak gue kasih makan.”

“Dasar makhluk tak berbudi.”

“Apa?”

“O, bukan apa-apa. Hehe.”

***
Sejujurnya Budi tidak akan sudi susah-susah begini kalau tidak melihat hadiah utama lomba tersebut, yakni jalan bareng ke Bali bersama Lola, artis berdarah bule yang sedang naik daun, yang kalau ngomong bibirnya suka maju-mundur persis ikan Koi itu. Asal tahu saja, Budi tidak pernah kelewatan nonton sinetronnya Lola setiap sore di Indobiar, loh! Bahkan, di dinding kamarnya rasanya penuh sesak dengan poster fotonya Lola. Pernah suatu ketika ia demam tinggi dan saat itu ia hanya mengigau-ngigau, “Maling! Maling! Maling!” Hm, sepertinya enggak ada hubungannya ya. Hehe.

Begitulah. Agak berlebihan memang. Tapi bagaimanapun juga Budi adalah laki-laki normal yang pernah mengalami pubertas dan suka perempuan cantik seperti Lola. Maka tak heran kalau sekarang ini ia kebelet banget buat ke kamar kecil, eh maksudnya buat menangin tuh lomba puisi.

Tapi bagaimana? Budi tak pernah bikin puisi!

***
Waktu berlalu dengan pasti. Batas waktu tinggal dua hari lagi. Tapi Budi masih belum berhasil menciptakan satu karya puisi pun! Kata-kata yang ia susun di kepala seolah pecah saat hendak dipindahkan ke atas kertas. Kalaupun berhasil ditulis, untaian kata-katanya tak lebih dari padanan kata yang menjemukan. Tak bermakna! Hambar.

Pun begitu, Budi tetap berusaha. Tak mati meski berkali tertatih. Tak peduli sudah berapa banyak gumpalan kertas yang ia hempaskan ke lantai. Ia bakar kembali semangatnya agar tak kunjung sirna. Ia tak ingin mimpinya bersama Lola pupus begitu saja. Karena kalau menang, ia berencana akan candle light dinner bersama Lola di pantai Kuta, dan berakhir foto bareng di tengah deburan ombak yang tersapu angin malam.

Ahh... mimpinya! Membayangkan itu, Budi makin bersemangat. Oh, Lola... ai lop yu pull!

“Budiiii! Makan dulu sanah!”

Teriakan Ibunya membuyarkan semuanya. Bayangan Lola hilang seketika. Budi mendengus kesal. Tapi ia putuskan melanjutkan membuat puisi lagi sehabis makan malam nanti.

***
Ia bangun bersama sinar mentari yang jatuh di pelupuk matanya. Kemudian berjalan gontai keluar kamar, mempersiapkan dirinya ke sekolah. Ia tak berminat melihat berapa berat badannya hari ini, karena hasilnya sudah dapat diprediksi.

Jalanan tak sebegitu ramai hari ini. Jarak antara rumah dan sekolah cukup dekat. Kali ini Budi tak menggunakan motor butut pemberian ayahnya. Budi lebih memilih berjalan kaki dan naik angkutan kota untuk sampai ke sekolahnya. Ia ingin lebih bersantai sambil mencari inspirasi untuk puisinya. Ia sadar, ini hari terakhirnya untuk membuat puisi.

Kakinya mantap melangkah. Matanya menelusuri jalan dan segala yang ia lewati. Pikirannya menerawang segala hal berbau cinta yang dapat ia tangkap menjadi aksara. Hingga pada sebuah langkah, ia tak sadar bahwa ada truk besar yang melintas di belakangnya. Truk itu terus berjalan, sempoyongan, lalu akhirnya mendorong Budi tersungkur ke jalanan sebelum roda-rodanya melindas di atas tubuhnya yang kurus.

Sinar mentari masih jatuh di pelupuk matanya. Namun tak ada mata yang terbuka. Rupanya ini bukan hari terakhirnya membuat puisi, tapi hari terakhirnya hidup di dunia ini.[]

Jakarte,2012

1 komentar: